Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Oleh karena dirasakan fungsi dan kedudukan tanah yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena tanah merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan kehidupan, serta kegunaan tanah yang begitu strategi, mengakibatkan nilai tanah menjadi meningkat tinggi. Tanah merupakan sumber daya yang sudah sangat diperlukan saat ini, hal ini disebabkan meledaknya populasi pertumbuhan manusia yang tentunya membutuhkan lahan untuk tempat hidupyang bersifat primer. Sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah. Maka tidak heran jika tanah merupakan sumber konflik yang paling tinggi.
Dalam masyarakat, perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan peralihan hak, yaitu dengan melalui jual beli. Dalam Hukum Adat perbuatan pemindahan hak (jual-beli, hibah, tukar menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual–beli dalam hukum tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria (UUPA), peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Adapun yang dimaksud dengan peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegang nya semula dan menjadi hak pihak lain.
Dalam hal memerlukan tanah, dari ketentuan hukumnya tidak banyak yang mengetahui cara bagaimana memperolehnya dan apa yang menjadi alat buktinya. Jika tanah yang bersangkutan berstatus hak milik maka akan mudah untuk diketahui bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan tanpa batas waktu.
Akan tetapi bagi seseorang yang akan membeli tanah, pengetahuan mengenai halhal tersebut, bagaimanapun pentingnya, belum cukup untuk sampai pada keputusan membeli tanah yang ditawarkan kepadanya. Hal yang paling utama ingin diperoleh yakni kepastian terlebih dahulu. Oleh karena terbatasnya jumlah tanah untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan dan tempat tinggal, maka orang perlu untuk mendapatkan suatu jaminan akan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan atas tanah yang mereka miliki. Semuanya itu diperlukan untuk mengamankan pembelian yang akan dilakukan dan mencegah timbulnya sengketa di kemudian hari.
Untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum tersebut oleh pemerintah dalam kaitannya dengan peralihan hak atas tanah sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ini yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, sebagaimana disebut oleh Pasal 1 ayat (1), adalah sebagai berikut :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, untuk menjamin kepastian hukum diwajibkan untuk melakukan pendaftaran diseluruh wilayah Republik Indonesia terutama terkait dengan peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan, namun dalam tataran aplikasi nya masih banyak terdapat peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika ada keharusan yang merupakan kewajiban bagi masyarakat yang melakukan perbuatan hukum yakni jual beli hak atas tanah untuk didaftarkan maka seharusnya ada sanksi bagi masyarakat yang tidak mendaftarkan peralihan hak atas tanah terhadap tanah yang belum didaftarkan. Akan tetapi dalam ketentuan pasal 19 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, tidak ditemukan adanya pasal yang mengatur mengenai sanksi dan atau akibat hukum yang ditimbulkan dari jual beli hak atas tanah yang belum didaftarkan.
B.Rumusan Masalah
- Bagaimana seharusnya peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan ?
- Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan jual beli hak atas tanah terhadap tanah yang belum didaftarkan ?
Bab II
Pembahasan
A. Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli Terhadap Tanah Yang Belum Didaftarkan.
Terkait dengan peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan atau dengan kata laintanah hak yang tidak bersertifikat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak ditemukan pasal yang mengatur secara khusus mengenai peralihan hak atas tanah khususnya terhadap tanah yang belum didaftarkan. Melainkan dari ketentuan peralihan hak atas tanah dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana hanya dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b yang menyinggung mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, akan tetapi dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf b tersebut hanya saja mengatur tentang penolakan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal untuk membuat akta, yang menegaskan apabila mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan :
- Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
- Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Selanjutnya, termasuk dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah belum juga diatur secara terperinci dan/atau khusus terkait dengan peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan.
Akan tetapi dalam ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran peralihan hak karena pemindahan hak sebagaimana diatur pada Pasal 103 sampai dengan Pasal 106, hanya pada Pasal 103 ayat (3) dan Pasal 106 yang membahas hal pemindahan hak atas tanah yang belum terdaftar, dan kedua Pasal tersebut masih mengatur secara umum mengenai peralihan hak atas tanah yang belum terdaftar.
Tujuan pendaftaran adalah agar kegiatan pendaftaran itu dapat diciptakan suatu keadaan, dimana :
- Orang - orang dan badan hukum yang mempunyai tanah dengan mudah dapat membuktikan, bahwa merekalah yang berhak atas tanah itu, hak apa yang dipunyai dan tanah manakah yang di haki. Tujuan ini dicapai dengan memberikan surat tanda bukti hak kepada yang bersangkutan.
- Siapapun yang memerlukan dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang dapat dipercaya mengenai tanah-tanah yang terletak di wilayah pendaftaran yang bersangkutan (baik calon pembeli atau calon kreditor) yang ingin memperoleh kepastian, apakah keterangan yang diberikan kepada oleh calon penjual atau debitur itu benar. Tujuan ini dicapai dengan memberikan sifat terbuka bagi umum pada data yang disimpan.
Dapat disimpulkan bahwa dengan berdasarkan pada teori perlindungan hukum dengan mengacu pada ketentuan Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur tentang tujuan dari pendaftaran tanah, yang mana pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah sehingga dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Dan untuk memberikan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikathak atas tanah.
Oleh karena itu, seharusnya peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengharuskan diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, maka peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan harus didaftarkan. Yang mana peralihan hak atas tanah karena jual beli tersebut harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Karena akta peralihan hak yg dibuat oleh PPAT merupakan dasar dan/atau alas hak untuk melakukan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Apabila tidak didaftarkan serta perbuatan hukum yakni jual beli tersebut tidak dilakukan di hadapan PPAT, maka perbuatan hukum tersebut bukanlah jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli atau pemegang hak baru. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23 UUPA, yang menyebutkan bahwa hak milik demikian pula setiap peralihan harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapus nya hak milik, serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Namun dalam dalam keadaan tertentu, kepala kantor pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah hak milik yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut penilaian Kepala Kantor Pertanahan kadar kebenarannya dianggap cukup untuk didaftarkan.
- Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Jual Beli Hak Atas Tanah Terhadap Tanah Yang Belum Didaftarkan.
Perbuatan hukum yakni jual beli tanah tersebut sering kali dilakukan di bawah tangan, yang terkadang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi sebagai bukti telah terjadinya jual beli dan tidak sedikit masyarakat yang hanya memiliki bukti kepemilikan atas tanah. Sehingga mengakibatkan peralihan hak atas tanah karena jual beli tidak dapat didaftarkan sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 19 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Dalam hal ini menimbulkan akibat hukum yaitu tidak terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau tidak sahnya peralihan hak atas tanah dan tidak adanya jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum. Sebagaimana yang ditegaska dalam ketentuan pasal 23 ayat (2), yang berbunyi :
“Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Untuk dapat memperoleh kepastian hukum, masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum terkait dengan peralihan hak atas tanah yaitu jual beli, harus melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Oleh karena dalam hal jual beli tanah tidak dapat diselesaikan begitu saja oleh para pihak yang bersangkutan, akan tetapi agar jual beli tersebut sah menurut hukum maka sangat diperlukan campur tangan pejabat yang berwenang untuk menyelesaikannya serta segala peralihan hak milik atas tanah karena jual beli harus mengikuti ketentuan dan prosedur yang diatur dan atau diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku.
Maka setiap peralihan hak milik atas tanah karena jual beli harus didaftarkan baik yang sudah bersertifikat maupun yang belum didaftarkan, berdasarkan ketentuanketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUPA, yang mana dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Karena keharusan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) UUPA merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapus nya hak milik serta sahnya peralihan dalam pembebanan hak tersebut, berdasarkan bunyi Pasal 23 ayat (2) UUPA.
Secara tegas juga diatur dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa adapun yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah yakni untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian serta perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a tersebut, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kepastian hukum yang dimaksud dalam kegiatan pendaftaran tanah di atas, antara lain:
- Kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang hak (subjek hak);
- Kepastian hukum mengena lokasi, batas serta luas suatu bidang tanah hak (subjek hak); dan
- Kepastian hukum mengenai haknya.
Dalam rangka jual beli dan pemindahan hak lainnya fungsi pendaftaran tanah adalah untuk :
1. Memperkuat pembuktian, sebab pemindahan hak tersebut dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak dicantumkan siapa pemegang haknya sekarang.
2. Memperluas pembuktian, karena dengan pendaftaran tanah jual belinya dapat diketahui oleh umum atau siap saja yang berkepentingan.
Akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan peralihan hak atas tanah secara hukum adat dengan berdasarkan pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa hukum agraria berdasarkan pada hukum adat. Dalam hal jual beli tanah menurut hukum adat bersifat kontan atau “tunai”. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai.
Biasanya jual beli tanah itu dilakukan di muka Kepala Adat (Desa), yang bukan hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam kedudukannya sebagai Kepala Adat (Desa) menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.
Effendi Perangin berpendapat,
“bahwa dengan dilakukannya jual beli di muka Kepala Adat (Desa), jual beli itu menjadi “terang”, bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Dengan demikian maka pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapat perlindungan hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual-beli tersebut tidak sah”.
Menurut Effendi Perangin :
“bahwa UUPA tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan jual beli tanah. Tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agrarian kita sekarang ini memakai system dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual. Yaitu menurut pengertian Hukum Adat.”
Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli tanah dilaksanakan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan.
Jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :
1. Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
2. Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek perbuatan hukum.
3. Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditandatangani akta pemindahan hak tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut.
Akibat hukum peralihan hak atas karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan adalah sah menurut hukum apabila peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan tersebut sudah memenuhi syarat materiil jual beli yaitu “terang dan “Tunai”, jika pembuat surat jual beli tersebut mengakui isi akta serta tanda tangan yang ada pada akta tersebut. Akan tetapi peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan juga menimbulkan akibat hukum lainnya yaitu kerugian bagi pihak pemegang hak atas tanah karena tidak adanya jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, yang mana hanya dapat menguasai secara fisik, akan tetapi tidak membuktikan kepemilikan tersebut secara yuridis sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 19 UUPA serta sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Bab III
Penutup
- Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dari uraian pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yangmengharuskan diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan peraturan induk dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, seharusnya peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan harus didaftarkan sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang berlaku.
2. Adapun akibat hukum peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan adalah sah menurut hukum apabila peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan tersebut sudah memenuhi syarat materil jual beli yaitu “terang dan “Tunai”.
B. Saran
- Agar setiap peralihan hak atas tanah harus diproses dengan menggunakan akta autentik yakni yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, sehingga memenuhi prosedur sebagai mana yang di amanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
- Meskipun peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan adalah sah menurut hukum, sudah memenuhi syarat materil jual beli yaitu “terang dan “Tunai”. Maka hendaklah peralihan hak nya dilanjutkan dengan membuat akta autentik oleh pejabat pembuat akta tanah agar terjamin hak dan tanggung jawab serta kepastian hukum bagi para pihak.
Daftar Pustaka
Adiwinata, Saleh, 1980, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung.
Adjie, Habib & Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.
Al–Rashid, Harun, 1986, Sekilas Tentang Jual–Beli Tanah (Berikut Peraturan–Peraturanya), Ghalia Indonesia, Jakarta.
Arba, 2017, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Effendie, Bachtiar, 1993, Pendaftaran Tanah di Indoneisa dan Pengaturan dan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung.
Harsono,Budi, 1999, (I), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Cetakan VIII, Djambatan, Jakarta.
Perangin, Effendi, 1986, Hukum Agraria Di Indonesia : Suatu Telaah Dari Sudut pandang Praktisi Hukum, Edisi 1, Cetakan 1, Rajawali, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar