Sabtu, 06 Maret 2021

KEDUDUKAN WANITA BALI DALAM SISTEM PEWARISAN ADAT BALI


KEDUDUKAN WANITA BALI

DALAM
 SISTEM PEWARISAN ADAT BALI

Oleh :
I  WAYAN TRI WIRA WIHARJA, SH., M.Kn

 

Hukum adat adalah hukum kebiasaan yang lahir dan berkembang dari tingkah laku masyarakat, dalam hidupnya sehari-hari, memiliki sifat yang tegas dan berwujud hukum yang positif. Sehingga dalam kehidupannya masyarakat harus melaksanakan aturan-aturan tingkah laku tersebut.

Hukum Adat pada dasarnya berkedudukan memperkaya khasanah hukum nasional Indonesia. Hukum Adat menjadi tumpuan masyarakat adat bertalian dengan keputusan-keputusan adat yang dijumpai penetapannya dalam kontak sosial manusia di lingkungan masyarakat adat di seluruh wilayah nusantara. Fungsi keputusan adat yang dimaksudkan di sini adalah memberikan pembatasan oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku dan sikap mereka, karena jika tidak demikian akan terjadi ketidak seimbangan dalam masyarakat. Hukum Adat bagi warga masyarakat adat mempunyai beberapa indikator penting dalam menunjukkan peranannya sebagai a tool of a social engineering (rekayasa sosial yang bertujuan untuk mengarahkan menuju keteraturan dan ketertiban yang orientasinya ingin menyasar aspek keadilan bagi masyarakat). Pertama, Hukum Adat yang realisasinya dapat berupa keputusan adat dari hasil pesamuhan majelis adat secara substantif memuat ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia atau yang menjadi pedoman manusia untuk berperilaku guna menjaga keseimbangan kepentingan mereka dalam masyarakat. Kedua, memberikan peluang besar untuk perwujudan aspek keadilan bagi masyarakat dalam kerangka menerapkan prinsip persamaan di muka hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan (equality before the law), baik kaum laki-laki maupun perempuan. Ketiga, Hukum Adat dalam wujud Keputusan Majelis Adat dinilai memberikan kontribusi yang besar dalam penetapan kebijakan yang memenuhi unsur pelayanan publik bagi anggota masyarakat sampai ke tingkat lapisan masyarakat paling bawah.

Ketentuan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia menghormati keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta segenap aspek sosial budaya yang melingkupi di setiap pengambilan keputusannya. Jadi, berdasarkan isi ketentuan konstitusi tersebut di atas, tampak jelas bahwa ketentuan hukum adat mengikat masyarakat adat dan akan menimbulkan akibat hukum tertentu apabila dilanggar. Namun, dalam substansi ketentuan adat tidak jarang menimbulkan reaksi kontradiksi bagi warga masyarakat adat untuk mengkaji kembali setiap kebijakan yang ditetapkan atas nama adat. Bahkan tidak jarang masyarakat menilai bahwa antara ketentuan yang ditetapkan dengan pelaksanaannya di lapangan sering kali dalam penerapannya mengalami tumpang tindih. Salah satu permasalahan yang muncul misalnya perihal pengaturan hak anak perempuan yang berhak mewaris menimbulkan perdebatan panjang di kalangan pemangku kebijakan dengan masyarakat yang disasar kebijakan tersebut.

Hukum adat waris adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari satu generasi manusia kepada keturunannya. Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Bali adalah sistem Patrilineal, yang melalui garis keturunan laki-laki (Purusa) dan merupakan generasi penerus orang tuanya, sedangkan anak perempuan bukuan generasi penerus orang tuanya. Hal tersebut dengan jelas dan tegas dirumuskan dalam salah satu pasal (pawos) dalam awig-awig desa pakraman. Kedudukan anak perempuan Bali dalam hal mewaris hanya mempunyai hak menikmati harta guna kaya orang tuanya selama ia belum kawin, apabila ia kawin, maka hak menikmati menjadi gugur. Pada tanggal 15 Oktober 2010 Majelis Utama Desa pakraman (MUDP) Bali mengadakan Pasamuan Agung III, yang intinya melakukan terobosan terhadap hukum adat waris bali. Pada Pasamuan Agung III MUDP Bali tersebut telah diputuskan bahwa anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris terbatas. Kontradiksi antara law in book dan law in action dapat terjadi tidak terlepas dari sistem sosial budaya yang melingkupi sistem pewarisan masyarakat Bali. Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan menurut garis keturunan pria. Maka kedudukan pria lebih diutamakan dari wanita. Pria adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal, sedangkan wanita disiapkan untuk menjadi anak orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Oleh karena itu apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak mempunyai keturunan dikatakan “putus keturunan”. Sistem kekerabatan ini di Bali dikenal sebagai sistem keturunan laki-laki purusha.

Kondisi sosial budaya matri lokal yang masih dinilai mengalami diskriminasi dapat dilihat dari gambaran perihal waris yang ditentukan dengan mendasarkan pada garis keturunan laki-laki. Bagi keluarga yang hanya memiliki anak perempuan dan sama sekali tidak diberikan keturunan anak laki-laki, maka dianggap ini sebuah malapetaka, nasib tidak mujur dan berbagai makna yang mengkhawatirkan, Anak perempuan, tidak sebagai penerus keturunan dalam Hukum Hindu pada Masyarakat Adat di Bali yang menganut sistem patrilinial. Apabila terjadi perkawinan di luar lingkungan keluarga purusha (sistem keturunan laki-laki), maka ia tidak mendapatkan hak terhadap harta kekayaan orang tuanya. Anak laki-laki yang mewarisi semua harta warisan, keturunan, membayar hutang orang tua, dan melakukan upacara kematian ngaben jika orang tua meninggal, sebab anak laki-laki sebagai garis purusha (sistem keturunan laki-laki) yang dipersiapkan untuk melanjutkan keturunan. Tidak demikian dengan nasib dan kedudukan anak perempuan, apabila anak perempuan menikah dengan orang yang bukan dalam garis purusha (sistem keturunan laki-laki) maka ia dianggap sudah keluar dari lingkungannya (clan, soroh atau marga), maka anak perempuan tidak memiliki kewajiban terhadap orang tua dan clannya. Hal tersebut menyebabkan wanita tidak diberikan hak untuk mewaris. Hanya jika saudara prianya mengikhlaskan untuk memberikan suatu pemberian sama rata atau memilih untuk tidak menikah sepanjang hidup atau wanita dapat berposisi purusha (sistem keturunan laki-laki) apabila perkawinan dilakukan dengan sistem nyentana.

Sistem perkawinan nyentana adalah sistem perkawinan dimana pihak perempuan tidak keluar dari clan atau kerabat ayah kandungnya namun membawa pihak laki-laki masuk ke dalam kerabat ayah kandung wanita sehingga pria berubah kedudukannya menjadi wanita dan wanita berubah kedudukannya menjadi pria. Sering terjadi saat seorang anak perempuan menikah dan keluar dari lingkungan clan atau kerabat dari orang tuanya, orang tua memberikan harta sebagai bawaan dalam pernikahan yang disebut harta tetatadan (harta bawaan) seperti harta bergerak contohnya perhiasan, motor dan mobil. Hal ini memberikan gambaran relasi timpang dalam aspek gender antara perempuan dan laki-laki pada sistem pewarisan adat di Bali sangat jelas terungkap bahwa kedudukan perempuan Bali sangat subordinatif terhadap laki-laki Bali, dan gerakan dari laki-laki untuk mengukuhkan proses itu sangat kuat. Hal tersebut menimbulkan keluhan-keluhan dari kaum perempuan di Bali terhadap ketidakadilan keadaan tersebut, sementara itu dalam berbagai instrumen Peraturan Perundangan Nasional telah terumus berbagai instrumen hukum yang menjamin persamaan hak antara wanita dan pria. Melihat pengaturan yang normatif seolah-olah terdapat jurang antara apa yang terumus dalam Hukum Adat di satu sisi dan Hukum Nasional di sisi yang lain. Pada kenyataan sehari-hari selalu saja dapat dijumpai perempuan-perempuan yang mengalami diskriminasi dalam hal waris, dan tidak mempunyai akses kepada Peradilan Negara.

Perkembangan terakhir mulai 2010 sampai dengan sekarang, Masyarakat Adat Bali telah mengalami perkembangan khususnya terhadap persamaan hak dalam pewarisan bagi perempuan Bali yang telah diatur dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang hasil-hasil Pasamuan Agung III MUDP Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung maupun anak angkat).

Adapun bunyi Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman terkait pewarisan bagi perempuan ialah:

“Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela”.

Perempuan Bali sangat setuju jika diberikan hak mewaris, sekalipun jumlahnya tidak sama dengan laki-laki. Mengenai besaran jumlah warisan sesuai dengan Putusan Samuan Agung III menurut perempuan adalah sangat ideal. Pemotongan 1/3 untuk harta pusaka dipandang sebagai kebijakan yang layak mengingat pemanfaatannya untuk kepentingan Merajan seperti benda-benda sakral. Hal itu, menunjukkan sifat regiusmagis tetap menjadi landasan filosofi perempuan Bali dalam menunjukkan sikapnya mengenai pewarisan

Salah satu implementasi keputusan MUDP ini terlihat di Kota Denpasar, di mana di Denpasar Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/ KeP/ Psm-3/ MDPBali/ X/ 2010 ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Bali di Desa Pakraman mereka. Hasil keputusan MDP (Majelis Desa Pakraman) Bali ini merupakan pilihan hukum di dalam proses pembagian waris bagi anak perempuan. Pelaksanaan pewarisan sampai saat ini berlaku hukum adat sebagaimana diatur dalam Residen Bali-Lombok sejak tahun 1915 yaitu pewarisan adat patriarkhi atau sering disebut dengan pewarisan Lempeng ke Purusa (mengikuti garis laki-laki), yang mana anak laki-laki lah yang berhak atas warisan keluarga. Dalam hal penyelesaian kasus-kasus pewarisan pada keluarga krama desa adat, prajuru desa adat diminta ikut menyelesaikan baik di tingkat keluarga maupun dadia, sifat penyelesaiannya adalah dengan pendekatan konsiliasi/mediasi dalam mengupayakan penyelesaian damai.  

Keikutsertaan prajuru desa adat menyelesaikan kasus-kasus pewarisan, ketika di tingkat keluarga maupun dadia tidak bisa diselesaikan. Prajuru desa adat pada dasarnya sangat mengutamakan penyelesaian kasus pewarisan melalui pendekatan kekeluargaan, musyawarah mufakat dan religiusmagis dalam bentuk rasa malu pada leluhur jika apa yang diwariskan justru membuat damuh atau keturunannya terjadi disharmoni atau tidak jalannya nilai-nilai upeksa yaitu keseimbangan dalam hidup dan kehidupan.

Pembagian waris adat menggunakan sistem garis keturunan dan sistem kewarisan yang dimana setiap wilayah itu berbeda-beda. Susunan garis keturunan pria (patrilineal), garis keturunan perempuan (matrilineal), dan susunan menurut garis pria/perempuan (parental/bilateral). Dan sistem kewarisan yang dianut dalam hukum adat di Indonesia yaitu kolektif, mayorat dan individual.

Dalam susunan kekerabatan yang cenderung mempertahankan garis keturanan pria (patrilineal) sebagaimana berlaku di Bali pada umumnya yang berkedudukan sebagai ahli waris adalah kaum pria, yaitu ayah atau pihak saudara pria dari ayah. Sedangkan kaum perempuan bukan ahli waris. Hukum adat Bali mengenal beberapa aturan tentang pewarisan sejak tahun 1900 sampai sekarang. Paswara 13 Oktober 1900, awig-awig tertulis Desa Pakraman, dan Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010.

Awig-awig adalah aturan yang dibuat olehkarma desa pakraman dan atau karma banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan Dharma agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-asing. ( Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman)

Terkait dengan implementasi keputusan-keputusan adat, baik MUDP, MMDP, Majelis Alit dan tingkat kertha desa, prajuru desa adat adalah ujung tombak yang signifikan guna menentukan keberhasilannya. Mekanisme pengembilan kebijakan di desa adat, senantiasa mengutamakan uger-uger desa, baik dalam bentuk awig-awig, aturan tidak tertulis lain yang diyakini oleh masyarakat adat, juga yang sangat penting adalah perarem desa adat sebagai pemutus tertinggi kebijakan, terutama yang tidak diatur dalam uger-ugeran.

Pengambilan putusan dalam kaitan dengan perempuan berhak mewaris, desa adat sangat apresiatif terhadap kebijakan keluarga/krama desa adat dan masing-masing dadia, kecuali mereka minta bantuan desa adat untuk ikut menyelesaikan. Tentu dalam menentukan warisan sangat diperhatikan posisi warisan, apakah warisan harta pusaka, guna karya, paweweh atau tatadan, masing-masing punya proses pewarisan yang berbeda.

Pada umumnya sistem pewarisan pada masyarakat masih berpegang pada dresta, hukum adat dan juga awig-awig, namun di desa-desa yang sudah agak modern seperti masyarakat Buleleng, ada yang memberikan waris pada anak perempuannya melalui proses hibah.

Bahwa dalam implementasi pewarisan pada masyarakat masih berpegang pada awig-awig yang menjadi pedoman di desa pakraman. Oleh karena desa pakraman hanya ada di bali maka keberadaan MUDP ini hanya berlaku pada masyarakat adat bali yang berada di pulau bali. Hal tersebut dikarenakan untuk memberlakukan desa pakraman haruslah dilandasi dengan peraturan daerah, seperti halnya di bali  Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Hal ini pula berlaku bagi masyarakat asli bali yang berada diperantauan. Bagi masyarakat yang beragama hindu yang berada diluar pulau bali yang sudah menetap tetap berpedoman pada Hukum Hindu, yakni Bab. IX. Kitab Manawa Dharmasastra.

Isãnãsah pitrvittasya rãyah (Rgveda: I. 73.9).

Artinya: Anak laki-laki mewarisi milik (harta) leluhurnya.

 

Prajãbhyah pustim wibhajanta ãastate (Rgveda: II.13.4).

Artinya: Para orang tua memberikan bagian mereka kepada anak laki-laki.

Disamping anak laki-laki anak perempuanpun berhak mendapatkan waris.

 

Amãjur iva pitroh sacã sati samãnãd ã sadasas tvãam iye bhagam kridhi praketam upa mãsyã bhara daddhi bhãgam tanvo yanemãmahah (Rgveda: II.17.7).

Artinya: Seorang anak perempuan selalu tinggal dengan orang tuanya, seperti seorang wanita yang tinggal menjadi tua di rumah, meminta uang kepada orang tuanya. Semoga orang tuanya memikirkan maslah itu. Perhitungkan dan berikan bagiannya kepadanya untuk perawatan dan untuk melayani para tamu.

Hal ini dimaksudkan wanita hindu yang belum menikah, tetap menjadi tangguggan orang tuanya atau  saudara laki-lakinya dan berhak atas warisan.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

    Oleh  I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alam...