Oleh
I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn
Dalam
hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat
secara alami, universal, dan abadi sebagai anugerah dari Tuhan, termasuk hak
hidup, berkeluarga, mengembangkan diri, keadilan, kemerdekaan, berkomunikasi,
keamanan, dan kesejahteraan. Hak-hak ini tidak boleh diabaikan atau dirampas
oleh siapapun. Selain itu, manusia juga memiliki hak dan tanggung jawab yang
muncul seiring perkembangan kehidupannya. Fungsi hukum adalah melindungi
kepentingan setiap orang, yang di dalamnya termasuk perlindungan hak asasi
manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum harus ditegakkan untuk melindungi
individu dari tindakan sewenang-wenang dan menciptakan keteraturan dalam
masyarakat. Dengan adanya perlindungan hukum, diharapkan hukum dapat memberikan
keadilan dan manfaat bagi masyarakat.
Pada
dasarnya hubungan sosial tidak terlepas terjadi ada kepentingan-kepentingan
individu yang bersifat transaksional yakni aktivitas ekonomi. Beberapa
kepentingan individu tersebut dapat berupa pinjam meminjam dan jual beli.
Pada
hukum yang berlaku di Indonesia aktivitas ekonomi merupakan hal yang bersifat
privat atau keperdataan. Dalam hal aktivitas ekonomi yang bersifat pinjaman
dengan menggunakan jaminan Sertipikat atas tanah maka diatur dalam
Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Dengan
bertambahnya pembangunan nasional, yang bertitik berat pada bidang ekonomi,
dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, shingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum
bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan
pasrtisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
adil, makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam
perkembangan yang terjadi dimasyarakat, seringkali masih menggunakan istilah
gadai dalam menjaminkan sertipikat tanah dalam masyarakat pada umunya. Istilah gadai
tercantum dalam pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah:
“ Suatu Hak yang diperoleh kreditur atas
suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh
kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada
kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului
kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan
barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan
yang harus didahulukan”.
Adapun
sebelum tahun 1996 dikenal ada 2 cara dalam menjaminkan sertipikat hak atas
tanah yakni dengan Hypotheek(dibaca
Hipotik) yang diatur dalam Buku II
KUHPerdata indonesia sepanjang mengenai tanah dan Credietverband yang
diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad1937-190.
Dengan
adanya Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka menurut Pasal
29 ketentuan mengenai Credietverband
sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan
Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo.
Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek
sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hypotheek dan Credietverband,
berasal dari zaman kolonial belanda dan didasarkan pada berlaku sebelum adanya
hukum tanah nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya untuk sementara
waktu sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksudkan dalam pasal 5
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan Hypotheek dan Credietverband
tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak
dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan
pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbul perbedaan pandangan dan
penafsiran mengenai berbagai masalah
dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya mengenai pencantuman titel
eksekutorial, pelaksanaannya eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan
perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian
hukum dalam kegiatan perkreditan.
Aktivitas
ekonomi juga yang sering terjadi adalah jual-beli, yang mana dalam KUHPerdata diataur
dalam pasal 1457 :
“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.
Unsur–unsur
yang dalam jual beli meliputi:
1. 1. Adanya
persetujuan
2. 2. Adanya
subjek hukum
3. 3. Objek
hukum
4. 4. Adanya
levering (Penyerahan)
Persetujuan
dikonsepkan sebagai kesepakatan dari para pihak. Subjek hukum dalam jual beli
yaitu penjual dan pembeli. Penjualnya yaitu orang atau subjek hukum yang
menyerahkan benda dan benda dan menerima uang dari pembeli, sedangkan pembeli,
yaitu orang atau subjek hukum yang berkewajiban untuk menyerahkan uang dan
menerima barang. Objek jual beli yaitu barang dan harga. Walaupun terjadi
kesepakatan, namun objek dalam jual beli harus dilakukan dengan penyerahan
secara nyata, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan dengan penyerahan
dengan Akta PPAT.
Banyak
ditemukan dalam aktivitas masyarakat yang melakukan kegiatan pinjam-meminjam
uang disertai dengan menyerahkan sertipikat hak atas tanah tanpa dilakukannya
perikatan hak tanggungan atau secara cuma-cuma. Hal mana pada pemikiran masyarakat
awam dapat dilakukan proses balik nama bila debitur tidak dapat melunasi
hutangnya.
Hal ini
tentu sangat bertentangan dengan pasal 12 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, yakni :
Sebagai mana amanat
pasal 1 dari UUHT adalah:
Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain;
Hal ini
menengaskan bahwa dalam terjadinya hutang-piutang dengan jaminan hak atas tanah
maka ranah yang dianjurkan adalah dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan
pada kantor PPAT. Hal ini dipertegas dalam pasal 29 berbunyi :
“Dengan berlakunya Undang-Undang ini,
ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad
1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah
diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan
mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku
lagi”.
Maka
sudah sangat jelas apabila dalam suatu hutang-piutang dengan benda tidak
bergerak dalam hal ini dengan jaminan sertipikat tanah, hal yang dilakukan
adalah dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan bukan membuat Akta Jual
Beli atau Perjanjian Perikatan jual beli dan Kuasa, hal ini sangat merugikan
Kreditur karena kesalahpahamannya karena berdampak batal demi hukum sebagai
mana pasal 12 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Penjualan
dalam hak tanggungan dapat dilakukan oleh kreditur bila debitur cidera janji,
maka pelaksanaannya dapat dibagi menjadi 2 dua menurut pasal 20 ayat 1 UUHT:
1.
Hak pemegang
Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, atau
2.
Titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek
Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan
dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Penjualan dapat dilakukan secara sukarela (Non eksekutorial)
bilamamana Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, jika dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui
pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang
paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan
piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil
penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya
sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Dalam
hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan
harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan,
asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan
syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk
mempercepat penjualan obyek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi.



