Minggu, 23 Maret 2025

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

 

 

Oleh

 I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn

Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alami, universal, dan abadi sebagai anugerah dari Tuhan, termasuk hak hidup, berkeluarga, mengembangkan diri, keadilan, kemerdekaan, berkomunikasi, keamanan, dan kesejahteraan. Hak-hak ini tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selain itu, manusia juga memiliki hak dan tanggung jawab yang muncul seiring perkembangan kehidupannya. Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan setiap orang, yang di dalamnya termasuk perlindungan hak asasi manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum harus ditegakkan untuk melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang dan menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Dengan adanya perlindungan hukum, diharapkan hukum dapat memberikan keadilan dan manfaat bagi masyarakat.

Pada dasarnya hubungan sosial tidak terlepas terjadi ada kepentingan-kepentingan individu yang bersifat transaksional yakni aktivitas ekonomi. Beberapa kepentingan individu tersebut dapat berupa pinjam meminjam dan jual beli.

Pada hukum yang berlaku di Indonesia aktivitas ekonomi merupakan hal yang bersifat privat atau keperdataan. Dalam hal aktivitas ekonomi yang bersifat pinjaman dengan menggunakan jaminan Sertipikat atas tanah maka diatur dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Dengan bertambahnya pembangunan nasional, yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, shingga memerlukan  lembaga hak jaminan yang  kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan pasrtisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam perkembangan yang terjadi dimasyarakat, seringkali masih menggunakan istilah gadai dalam menjaminkan sertipikat tanah dalam masyarakat pada umunya. Istilah gadai tercantum dalam pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah:

“ Suatu Hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.

Adapun sebelum tahun 1996 dikenal ada 2 cara dalam menjaminkan sertipikat hak atas tanah yakni dengan Hypotheek(dibaca Hipotik) yang diatur dalam  Buku II KUHPerdata indonesia sepanjang mengenai tanah dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah  dengan Staatsblad1937-190.

Dengan adanya Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka menurut Pasal 29 ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hypotheek dan Credietverband, berasal dari zaman kolonial belanda dan didasarkan pada berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya untuk sementara waktu sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksudkan dalam pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan Hypotheek dan Credietverband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak  jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbul perbedaan pandangan dan penafsiran  mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaannya eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum  dalam  kegiatan perkreditan.

Aktivitas ekonomi juga yang sering terjadi adalah jual-beli, yang mana dalam KUHPerdata diataur dalam pasal 1457 :

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.

Unsur–unsur yang dalam jual beli meliputi:

1.   1.  Adanya persetujuan

2.   2. Adanya subjek hukum

3.   3.  Objek hukum

4.   4. Adanya levering (Penyerahan)

Persetujuan dikonsepkan sebagai kesepakatan dari para pihak. Subjek hukum dalam jual beli yaitu penjual dan pembeli. Penjualnya yaitu orang atau subjek hukum yang menyerahkan benda dan benda dan menerima uang dari pembeli, sedangkan pembeli, yaitu orang atau subjek hukum yang berkewajiban untuk menyerahkan uang dan menerima barang. Objek jual beli yaitu barang dan harga. Walaupun terjadi kesepakatan, namun objek dalam jual beli harus dilakukan dengan penyerahan secara nyata, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan dengan penyerahan dengan Akta PPAT.

Banyak ditemukan dalam aktivitas masyarakat yang melakukan kegiatan pinjam-meminjam uang disertai dengan menyerahkan sertipikat hak atas tanah tanpa dilakukannya perikatan hak tanggungan atau secara cuma-cuma. Hal mana pada pemikiran masyarakat awam dapat dilakukan proses balik nama bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan pasal 12 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yakni :


Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”.

Sebagai mana amanat pasal 1  dari UUHT adalah:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain;

Hal ini menengaskan bahwa dalam terjadinya hutang-piutang dengan jaminan hak atas tanah maka ranah yang dianjurkan adalah dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan pada kantor PPAT. Hal ini dipertegas dalam pasal 29 berbunyi :

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Maka sudah sangat jelas apabila dalam suatu hutang-piutang dengan benda tidak bergerak dalam hal ini dengan jaminan sertipikat tanah, hal yang dilakukan adalah dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan bukan membuat Akta Jual Beli atau Perjanjian Perikatan jual beli dan Kuasa, hal ini sangat merugikan Kreditur karena kesalahpahamannya karena berdampak batal demi hukum sebagai mana pasal 12 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Penjualan dalam hak tanggungan dapat dilakukan oleh kreditur bila debitur cidera janji, maka pelaksanaannya dapat dibagi menjadi 2 dua menurut pasal 20 ayat 1 UUHT:

1.    Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

2.     Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Penjualan dapat dilakukan secara sukarela (Non eksekutorial) bilamamana Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.

Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi.

 

Sabtu, 20 Januari 2024


Gadai Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum Apabila Tidak   
Dilanjuti  Dengan Hak Tanggungan

                        oleh :
 I Wayan Tri Wira Wiharja. S.H., M.Kn


Pengertian gadai tercantum didalam pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah

“suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya biaya mana harus didahulukan”.

Istilah lembaga hak jaminan “gadai” ini merupakan terjemahan kata pand atau vuispand (bahasa jerman), dalam hukum adat istilah nya ini disebut dengan “cekelan”. Lembaga jaminan gadai ini masih banyak dipergunakan di dalam praktek. Kedudukan pemegang jaminan nya disini lebih kuat dari pemegang fidusia, karena benda jaminan berada dalam pemegangan kreditor.

Gadai yang pengertian dan persyaratannya sebagai pand merupakan lembaga hak jaminan kebendaan bagi kebendaan bergerak yang diatur dalam KUHPer. Perumusan gadai diberikan dalam pasal 1150 KUHPer yang berbunyi:

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya biaya mana harus didahulukan.

Dari perumasan pasal 1150 KUHPer diatas dapat diketahui, bahwa itu merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seorang lain atas nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan uang tertentu, yang memberikan hak didahulukan (vooreng, preferensi) kepada pemegang hak nya atas kreditor lainnya, setelah terlebih dahulu didahulukan dari biaya untuk lelang dan biaya penyelamatan barang-barang nya yang diambil dari hasil penjualan melalui pelelangan umum atas barang-barang yang digadaikan.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1150 KUHPer dan pasal-pasal lainnya dari KUHPer, dapat disimpulkan sifat dan ciri-ciri yang melekat pada hak  sebagai berikut;

1.    Objek atau barang-barang yang digadaikan adalah kebendaan yang bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud (Pasal 1150, Pasal 1153 KUHPer).

2.    Gadai merupakan hak kebendaan atas kebendaan atau barang-barang yang bergerak milik seorang (Pasal 1152 ayat (3) juncto Pasal 528 KUHper).

3.    Hak yang memberikan kedudukan diutamakan (hak preferensi) kepada kreditor pemegang hak gadai (Pasal 1133, Pasal 1150 KUHPer).

4.    Kebendaan atau barang-barang yang digadaikan harus berada dibawah penguasaan kreditur pemegang hak atau pihak ketiga untuk dan atas nama pemegang hak gadai (Pasal 1150, Pasal 1152 KUHPer).

5.    Gadai bersifat accesoir pada perjanjian pokok atau pendahuluan tertentu seperti perjanjian pinjam-meminjam, utang-piutang, atau perjanjian kredit (Pasal 1150 KUHPer).

6.    Gadai memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), yaitu membebani secara utuh objek kebendaan atau barang-barang yang digadaikan dan setiap bagian daripadanya, dengan ketentuan bahwa apabila telah dilunasi sebagian dari utang yang dijamin, maka tidak berarti terbebasnya pula sebagian utangnya (Pasal 1160 KUHPer).

Namun sejak terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah. Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Asas-asas hak tanggungan yakni:

1. Hak tanggungan bersifat memaksa.

Pembebanan hak tanggungan sebagai sebuah jaminan atas tanah tidak bersifat memaksa, namun setelah hak tanggungan ada, maka segala ketentuan dalam UUHT wajib dilaksanakan. Pengingkaran atas ketentuan UUHT dapat menyebabkan HT tidak berlaku.

2. Hak tanggungan dapat beralih atau dipindahkan.

Hak tanggungan merupakan perjanjian assesoir yang mengikuti perjanjian pokok utang piutang. Dan apabila piutang yang dijamian dengan HT tersebut beralih, maka HT juga akan ikut beralih.

3. Hak tanggungan bersifat individualiteit.

Pasal 15 UUHT menentukan bahwa atas suatu objek HT dapat dibebani dengan lebih dari satu HT untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Masing-masing HT tersebut berdiri sendiri. Eksekusi atau hapusnya HT yang satu tidak berpengaruh terhadap HT lainnya.

4. Hak tanggungan bersifat menyeluruh (totaliteit).

Pada prinsipnya HT diberikan secara keseluruhan. Yaitu HT diberikan dengan segala ikutannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijamin dengan HT. Maka eksekusi HT atas bidang tanah tersebut juga meliputi segala ikutannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijaminkan atau diagunkan dengan HT tersebut.

5. Hak tanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitbaarheid).

Pembebanan HT akan dilakukan terhadap bidang tanah tertentu beserta segala apa yang melakat diatasnya.

6. Hak tanggungan berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya).

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa atas satu bidang tanah dapat dikenakan beberapa HT. Atas hak-hak tanggungan tersebut ditentukan peringkat berdasarkan pendaftarannya. Apabila pendaftaran dilakukan secara bersamaan, maka peringkat HT ditentukan berdasar saat pembuatan APHT.

7. Hak tanggungan harus diumumkan (asas publisitas).

Pendaftaran yang dilakukan merupakan pemenuhan syarat publisitas, sebagaimana disyaratkan dalam hukum kebendaan.

8. Hak tanggungan mengikuti bendanya (droit de suite).

Artinya ketangan siapapun benda yang dimiliki beralih, pemilik dengan hak kebendaan tersebut berhak untuk menuntutnya kembali, dengan atau tanpa disertai dengan ganti rugi.

9. Hak tanggungan bersifat mendahulu (droit de preference)

HT memberikan kedudukan istimewakepada kreditornya. Yaitu sebagai kreditor preferen yang memberikan kedudukan istimewa untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terdahulu daripada kreditor lainnya. Hak tanggungan hanya semataditujukan bagi pelunasan utang dengan cara menjual (sendiri) bidang tanah yang dijaminkan dengan HT tersebut dan memperoleh pelunasan dari penjualan tersebut hingga sejumlah nilai HT atau nilai piutang kreditor.

10. Hak tanggungan sebagai jura in re aliena (yang terbatas)

Hak tanggungan ini hanya bersifat perjanjian assesoir, yang merupakan perjanjian tambahan/ ikutan dari perjanjian pokok utang piutang. Sifatnya terbatas pada hal tersebut sebagai suatu bentuk jaminan.

 

Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan pasal 9 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah. Dalam kedua pasal tersebut yang dapat menjadi subjek hukum adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan keduanya dapat berupa perorangan dan badan hukum.

Pada dasarnya tidak semua dapat dijadikan objek hak tanggungan, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1.    Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;

2.    Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;

3.    Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan

4.    Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

Ada 5 (lima)  jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu:

1.    Hak milik;

2.    Hak Guna Bangunan;

3.    Hak Guna Usaha;

4.    Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas Negara;

5.    Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

Undang-undang Hak Tanggungan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat, ketentuan-ketentuan tentang Hypoteek dan Credietverband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan didalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan perkembangan ekonomi. Akibatnya adalah timbulnya perbedaan pandangan dan pernafsiran mengenai berbagai masalah dan dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya, mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum UUHT).

Gadai atas tanah termasuk tanah pertanian adalah bertentangan dengan hukum tanah nasional. Dalam pasal 10 UUPA dijelaskan :

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”

Dalam pasal 10 UUHT :

“Pemberian hak tanggungan didahaului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan uang tersebut”.

Timbulnya hak tanggungan hanyalah dimungkinkan apabila sebelumnya telah dijanjikan di dalam perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit) yang menjadi dasar pemberian hutang (kredit) yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu bahwa akan diberikan Hak Tanggungan kepada kreditor. Sedangkan pemberian Hak Tanggungan itu sendiri nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian tersendiri oleh PPAT yang disebut dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat 2 UUHT, ketentuan yang sebelumnya tidak ada didalam hypoteek.

Pasal 29

“Dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Implikasi hak atas tanah sebagai objek jaminan gadai yang tidak daftar Akta Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan PERPPU No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian adalah kreditur/pemegang gadai tidak dapat menikmati keistimewaan dari ketentuan yang diberikan UUHT No. 1996 yaitu Droit de Preverence (Hak Pemegang Hak Tanggungan untuk mengambil terlebih dahulu atas pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan dari pada kreditur yang lain), kemudahan dan kepastian dalam eksekusi objek jaminan berdasarkan title eksekutorial di dalam sertipikat Hak Tanggungan dengan irah- irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga eksekusi obyek Hak Tanggungan tidak lagi memerlukan persetujuan pemberi Hak Tanggungan.

Dan kreditur/pemegang gadai tidak mendapatkan kepastian hukum atas prestasi debitur/penggadai. Karena dalam Pasal 7 ayat 1 PERPPU No.56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, hak gadai secara hukum berakhir jika hak gadai itu sudah berlangsung 7 tahun atau lebih. Setelah daluarsa masa gadai tanah, maka tanah harus dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada dipanen.

 

 

Jumat, 01 Desember 2023

Pelekatan Cap Sidik Jari Sebagai Kewajiban Notaris Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang –undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.


.

oleh

I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn

 

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat perjanjian yang dapat melindunginya pada hari-hari yang akan datang.

Seorang notaris berwenang membuat akta-akta yang mengandung berbagai macam rahasia, baik rahasia bagi para pihak dalam akta tersebut, maupun rahasia bagi pihak lain yang tidak disebut dalam akta. Dalam menjalannya profesinya seorang notaris wajib mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disingkat UUJN terbaru yang telah diatur secara ketat, agar setiap tindakan yang dilakukan seorang notaris dalam menjalankan profesinya selalu berlandaskan atas hukum yang berlaku. Kewajiban menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, memiliki arti sesuatu yang harus dikerjakan (dilaksanakan).

Menurut Pasal 1 angka 1 UUJN Terbaru

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Sedangkan melekatkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, memiliki arti menempelkan pada sesuatu. Selanjutnya menurut Pasal 1874 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), sidik jari memiliki arti dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang tertanggal dari seorang notaris atau pegawai lainnya yang ditunjuk oleh undang-undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol dibubuhkan di hadapan pegawai tadi. Pegawai itu harus membukukan tulisan tersebut. Penghadap ialah subyek hukum yang datang menghadap notaris didasari adanya suatu keperluan dan keinginan sendiri. Dalam Pasal 1 angka 8 UUJN Terbaru dituangkan pengertian minuta akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan notaris, yang disimpan sebagai bagian dari protokol notaris.

Perubahan terhadap UUJN khususnya perubahan di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c menimbulkan kewajiban bagi para notaris dalam membuat minuta akta notaris, sebagaimana yang berbunyi : “Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta”. Berdasarkan ketentuan dalam pasal di atas menyebutkan bahwa dengan diubahnya Pasal 16 ayat (1) huruf c dalam UUJN, maka pembuat Undang-Undang memberikan kewajiban tambahan kepada para notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap pada setiap minuta akta notaris yang dibuat olehnya. Maksud dari melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta adalah : minuta akta merupakan asli akta notaris yang terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris (akta partij) dan akta yang dibuat oleh notaris (akta pejabat/akta relaas). Sidik jari tidak berlaku bagi surrogat tanda tangan (pengganti tanda tangan) bagi akta partij dan tidak mempunyai fungsi apapun dalam akta pejabat, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 44 dan 46 UUJN.

Untuk penghadap difable (penyandang cacat) pertama dijelaskan dalam akhir akta mengenai kondisi dari Penghadap tersebut. Dalam hal ini harus dijelaskan secara jelas dan tegas pada akhir akta. Terlebih dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN-P tidak memiliki alternatif untuk pengganti sidik jari ketika Penghadap adalah seorang difable. Oleh karena itu Notaris diwajibkan untuk mengkonstatir keadaan.

 Dengan demikian, fungsi dilekatkan sidik jari dalam minuta akta notaris yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c bukan suatu tindakan hukum dalam menentukan keabsahan atau otentisitas dari akta tersebut melainkan hanya berfungsi untuk menjamin kebenaran identitas penghadap. Pelaksanaan penggunaan sidik jari Penghadap pada Minuta Akta Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN-P dinilai efektif karena tidak hanya melindungi kepentingan penghadap tapi juga sebagai bentuk dari prinsip kehati-hatian Notaris. Sesuai dengan hasil wawancara dari kedua narasumber sidik jari tersebut telah disepakati bila dibubuhkan atau dilekatkan pada lembar tersendiri yang disebut “LEMBAR SPESIFIKASI JEMPOL KIRI DAN KANAN”. Kemudian untuk penghadap difable pada akhir Akta ditulis sebab-sebab mengapa penghadap tersebut tidak mampu membubuhkan sidik jarinya. Kemudian pada lembar tersendiri tersebut dibubuhkan salah satu apabila memiliki cacat fisik salah satu bagian saja (tangan kanan atau tangan kiri), namun apabila memiliki cacat fisik pada kedua tangannya maka penulis berpendapat dapat digantikan dengan sidik jari kakinya karena pada Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN-P tidak menyebutkan sidik jari mana yang wajib dibubuhkan namun hanya disebutkan “…dilekatkannya sidik jari”. Kemudian apabila penghadap seorang anak dibawah umur maka semua perbuatan hukum yang akan dilakukan di Kantor Notaris tersebut wajib diwakilkan oleh orang tua atau wali sesuai Pasal 47 dan 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Terkait bukti kehadiran Penghadap di hadapan Notaris, sidik jari juga dipandang perlu, dengan adanya lembar Spesifikasi Jempol Kiri dan Kanan penghadap yang dilekatkan di Minuta Akta, apabila terjadi pengingkaran salah satu pihak, maka bisa dijadikan alat bukti tambahan sekalipun akta otentik yang bersangkutan sudah merupakan alat bukti otentik.

Melekatkan sidik jari pada minuta akta berarti membubuhkan sidik jari pada suatu lembar kertas terpisah yang dilekatkan pada minuta akta, yang merupakan suatu kewajiban hukum yang tidak menentukan keabsahan atau otentisitas suatu akta dan hanya berfungsi untuk menjamin kebenaran identitas penghadap. Sehingga terhadap pelanggarnya hanya dikenakan sanksi disiplinair yang tercantum di dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN: Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:

a.    peringatan tertulis ;

b.    pemberhentian sementara ;

c.    pemberhentian dengan hormat; atau

d.   pemberhentian dengan tidak hormat.

Seorang notaris dapat dibebaskan dari sanksi disiplinair dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN, apabila dalam hal penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dan sidik jari pada minuta akta notaris, wajib menyebutkan alasannya secara tegas pada akhir minuta akta, sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) UUJN.

Kamis, 30 November 2023

Kedudukan Perseroan Terbatas Sebagai Subyek Hukum

 




Oleh :

I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn


Secara khusus Perseroan terbatas diatur dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007 yang berlaku efektif sejak tanggal 16 Agustus 2007. Dalam pasal 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 Pengertian perseroan terbatas (perseroan) adalah badan hukum  yang merupakan persetujuan modal, didirikan  berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka untuk dapat disebut sebagai perusahaan atau PT menurut undang-undang PT haruslah memenuhi unsure-unsur:

1.   Berbentuk badan hukum, yang merupakan persekutuan modal;

2.   Didirikan atas dasar perjanjian;

3.   Melakukan kegiatan usaha;

4.   Modal terbagi saham-saham;

5.   Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta peraturan pelaksanaannya.

Walaupun suatu badan hukum bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran dan/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori  yang lazim dianut, kehendak dari peserom pengurus dianggap sebagai kehendak PT. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak  atas nama PT, pertanggungjawabannya terletak pada PT dengan semua harta bendanya.

Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam UUPT dan UUPM, maka PT dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:

1.   PT Terbuka (Tbk) yaitu perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal. Dalam UUPM yang dimaksud dengan PT Terbuka  disebut perusahaan public adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3 Miliar atau suatu jumlah pemegang saham atau modal disetor yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

2.   PT Tertutup adalah perseroan yang tidak termasuk dalam kategori terbuka.

Untuk mendirikan suatu perseroan harus memenuhi persyaratan materiil, antara lain :

1.   Pendiri terdiri dari 2 orang atau lebih;

2.   Dibuat dengan akta autentik;

3.   Modal dasar perseroan;

4.   Pengambilan saham saat perseroan didirikan.

Dalam UU nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan Terbatas  terdiri atas Modal  dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Modal dasar dalah modal perseroan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar, modal dasar perseroan  terdiri dari seluruh nilai nominal saham yang dapat dikeluarkan atas nama dan/atau atas tunjuk. Dalam pasal 32 ayat 1 UUPT, modal  dasar perseroan besarnya paling sedikit adalah Rp. 50.000.000.- (Lima Puluh Juta Rupiah).

Modal ditempatkan dalam modal perseroan yang oleh para pendirinya disanggupi untuk disetor ke kas perseroan yang didirikan. Dalam pasal 33 ayat 1 jumlah modal yang ditempatkan  paling sedikit 25% dari modal dasar yang dimaksud dalam pasal 32, dan harus disetor penuh. Modal yang disetor adalah modal PT yang berupa sejumlah uang tertentu yang setelah oleh para pendiri perseroan kepada  kas perseroan. Modal yang disetor harus berupa uang tunai, oleh karena itu modal inilah yang benar-benar merupakan kemampuan financial dari perseroan yang baru berdiri.

Bentuk setoran modal saham dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Ditegaskan dalam pasal 34 ayat 1 UUPT, apabila saham dilakukan dalam bentuk lain selain uang, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan perseroan, dan jika merupakan benda tidak bergerak harus diumumkan  dalam satu surat kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS  memutuskan penyetoran saham tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 34 ayat 2 dan 3 UUPT.

Dalam UUPT tiap saham perseroan harus dikeluarkan  atas nama pemiliknya. Setiap  saham yang telah dan akan dikeluarkan  harus mempunyai nilai nominal tertentu. Nilai nominal saham harus dicantumkan dalam rupiah (Rp). Saham yang tanpa nominal tidak dapat dikeluarkan.

Perubahan dalam anggaran dasar PT menyangkut:

1.   Nama PT;

2.   Maksud dan tujuan PT;

3.   Kegiatan usaha PT;

4.   Jangka waktu berdirinya PT, apabila Anggaran dasar menetapkan  jangka waktu tertentu;

5.   Besarnya modal dasar;

6.   Pengurangan modal ditempatkan dan disetor;

7.   Status perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka atau sebaliknya.

Organ dalam Perusahaan terbatas terdiri dari:

1.   Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);

2.   Komisaris;

3.   Direksi.

Rapat Umum Pemegang Saham

Dalam UU PTdapat diketahui bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Dalam UU PT pasal 1 ayat 4 RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala kewenangan yang tidak  diserahkan kepada direksi dan komisaris  dalam batas  yang ditentukan  dalam undang-undang dan/atau Anggaran dasar. RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam PT mempunyai kewenangan untuk menetapkan kebijaksanaan umum perseroan, mengangkat, dan memberhentikan direksi dan komisaris serta mengesahkan laporan tahunan direksi dan komisaris. RUPS diadakan di tempat kedudukan perseroan atau ditempat perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.terkait dengan lokasi diselanggarakannya RUPS, UU PT mengatur bahwa  tempat RUPS harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia. Demikian diatur didalam Pasal 76 ayat (3).

Rapat umum pemegang saham  terdiri dari

1.   RUPS tahunan dan

2.   RUPS lainnya

RUPS tahunan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir, dan harus diajukan  semua  dokumen dari laporan tahunan perseroan. Sementara, RUPS lainnya dilakukan setiap waktu berdasarkan kebutuhan  untuk kepentingan perseroan. Direksi perseroan adalah pihak yang menyelenggarakan RUPS tahunan, serta penyelenggaraan RUPS lainnya dengan didahului pemanggilan RUPS.

Selain daripada rapat umum pemegang saham, salah satu organ PT lainnya yakni Direksi. Dalam UU PT, dapat dijelaskan bahwa direksi adalah organ yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam mapupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Pihak yang dapat dijadikan direksi adalah orang-perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit, atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit atau yang pernah dihukum karena melaksanakan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dalam jangka waktu lima tahun sebelum pengangkatan.

Kewenangan bertindak Direksi pada umumnya menyebutkan:

a.    Meminjam atau meminjamkan uang atas nama PT;

b.   Mengikat PT sebagai penjamin;

c.    Membeli atau dengan cara lain memperoleh barang yang tidak bergerak kepunyaan PT;

d.   Menjual atau dengan cara lain melepaskan barang tidak bergerak kepunyaan PT;

e.    Mengagunkan atau dengan cara apapun juga menjaminkan barang tidak bergerak kepunyaan PT;

f.     Menggadaikan atau dengan cara apapun menjaminkan barang bergerak kepunyaan PT.

Dalam hal demikian harus mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu atau dokumen yang berkenaan dengan  itu turut ditandatangani oleh dewan komisaris atau RUPS berarti sebelum tindakan tertentu dilakukan oleh direktur, maka persetujuan tertulis harus diperoleh terlebih dahulu.

Adapun tindakan PT yang berkaitan dengan Bank antara lain PT sebagai nasabah dan PT sebagai pemberi jaminan

1.   Kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar PT, maka umunya tindakan PT untuk membuka rekening pada bank ( giro, deposito dan atau tabungan) cukup  diwakili oleh anggota direksi yang berwenang mewakili direksi, tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari dewan Komisaris /RUPS, karena tindakan ini termasuk tindakan kepengurusan PR sehari-hari.

2.   Konsekuensinya adalah bahwa anggota direksi yang berwenang mewakili direksi PT tersebut berhak pula menentukan karyawan PT atau kuasanya sebagai authorized signer atas rekening pada bank yang bersangkutan.

3.   Hal- hal yang perlu menjadi perhatian dalam pemberian kuasa tersebut adalah agar kuasa yang diberikan bersifat khusus(tidak umum), hal demikian mengingat sesuai dengan ketentuan pasal 1796 KUHPerdata ditentukan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum hanya meliputi perbuatan pengurusan, sementara tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan rekening PT pada bank pada umumnya termasuk juga tindakan yang meliputi perbuatan kepemilikan. Pemberian kuasa tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam anggaran dasar perseroan.

PT sebagai peminjam:

1.   Dalam hal PT bertindak sebagai peminjam, maka pada umumnya Anggaran dasar PT mewajibkan anggota direksi yang bersangkut untuk  memperoleh persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Dewan Komisaris/RUPS.

2.   Perlu menjadi perhatian adalah apabila Anggaran Dasar PT mensyaratkan demikian, maka persetujuan tertulis tersebut agar diperoleh terlebih dahulu sebelum dilaksanakannya perbuatan tersebut, hal demikian untuk mencegah timbulnya gugatan di kemudian hari dari pihak yang seharusnya memberikan persetujuan dewan komisaris/RUPS yang mengakibatkan perbuatan tersebut dapat dimintakan pembatalannya dimuka hakim.

PT sebagai penjamin atau pemberi jaminan:

1.   Dalam hal PT bertindak sebagai penjamin atau pemberi jaminan, maka pada umumnya Anggaran Dasar PT yang bersangkutan memperoleh persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari dewan komisaris/RUPS.

2.   Perbedaan akibat hukum bagi PT sebagai pemberi jaminan dan PT sebagai penjamin (corporate guarantee) sebagai berikut:

-       Sebagai pemberi jaminan yaitu dimana PT menyerahkan suatu asset tertentu milik PT sebagai  jaminan untuk jaminan atas pelunasan utang pada bank, berarti pemberi jaminan hanya terbatas  pada harta kekayaan PT yang dijaminkan.

-       PT sebagai penjamin (corporate guarantee) berarti kekayaan PT seluruhnya secara hukum menjadi jaminan atas pelunasan utang pada bank, kecuali jika disetujui lain oleh pihak di dalam corporate guarantee tersebut.

Bentuk-bentuk khusus dari perseroan terbatas terbagi dalam 2 kategori, yakni PT. Penanaman Modal Dalam Negeri dan PT. Penanaman Modal Asing.

 

PT. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. PT. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

 

 

 

 

 

 

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

    Oleh  I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alam...