Sabtu, 20 Januari 2024


Gadai Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum Apabila Tidak   
Dilanjuti  Dengan Hak Tanggungan

                        oleh :
 I Wayan Tri Wira Wiharja. S.H., M.Kn


Pengertian gadai tercantum didalam pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah

“suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya biaya mana harus didahulukan”.

Istilah lembaga hak jaminan “gadai” ini merupakan terjemahan kata pand atau vuispand (bahasa jerman), dalam hukum adat istilah nya ini disebut dengan “cekelan”. Lembaga jaminan gadai ini masih banyak dipergunakan di dalam praktek. Kedudukan pemegang jaminan nya disini lebih kuat dari pemegang fidusia, karena benda jaminan berada dalam pemegangan kreditor.

Gadai yang pengertian dan persyaratannya sebagai pand merupakan lembaga hak jaminan kebendaan bagi kebendaan bergerak yang diatur dalam KUHPer. Perumusan gadai diberikan dalam pasal 1150 KUHPer yang berbunyi:

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya biaya mana harus didahulukan.

Dari perumasan pasal 1150 KUHPer diatas dapat diketahui, bahwa itu merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seorang lain atas nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan uang tertentu, yang memberikan hak didahulukan (vooreng, preferensi) kepada pemegang hak nya atas kreditor lainnya, setelah terlebih dahulu didahulukan dari biaya untuk lelang dan biaya penyelamatan barang-barang nya yang diambil dari hasil penjualan melalui pelelangan umum atas barang-barang yang digadaikan.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1150 KUHPer dan pasal-pasal lainnya dari KUHPer, dapat disimpulkan sifat dan ciri-ciri yang melekat pada hak  sebagai berikut;

1.    Objek atau barang-barang yang digadaikan adalah kebendaan yang bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud (Pasal 1150, Pasal 1153 KUHPer).

2.    Gadai merupakan hak kebendaan atas kebendaan atau barang-barang yang bergerak milik seorang (Pasal 1152 ayat (3) juncto Pasal 528 KUHper).

3.    Hak yang memberikan kedudukan diutamakan (hak preferensi) kepada kreditor pemegang hak gadai (Pasal 1133, Pasal 1150 KUHPer).

4.    Kebendaan atau barang-barang yang digadaikan harus berada dibawah penguasaan kreditur pemegang hak atau pihak ketiga untuk dan atas nama pemegang hak gadai (Pasal 1150, Pasal 1152 KUHPer).

5.    Gadai bersifat accesoir pada perjanjian pokok atau pendahuluan tertentu seperti perjanjian pinjam-meminjam, utang-piutang, atau perjanjian kredit (Pasal 1150 KUHPer).

6.    Gadai memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), yaitu membebani secara utuh objek kebendaan atau barang-barang yang digadaikan dan setiap bagian daripadanya, dengan ketentuan bahwa apabila telah dilunasi sebagian dari utang yang dijamin, maka tidak berarti terbebasnya pula sebagian utangnya (Pasal 1160 KUHPer).

Namun sejak terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah. Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Asas-asas hak tanggungan yakni:

1. Hak tanggungan bersifat memaksa.

Pembebanan hak tanggungan sebagai sebuah jaminan atas tanah tidak bersifat memaksa, namun setelah hak tanggungan ada, maka segala ketentuan dalam UUHT wajib dilaksanakan. Pengingkaran atas ketentuan UUHT dapat menyebabkan HT tidak berlaku.

2. Hak tanggungan dapat beralih atau dipindahkan.

Hak tanggungan merupakan perjanjian assesoir yang mengikuti perjanjian pokok utang piutang. Dan apabila piutang yang dijamian dengan HT tersebut beralih, maka HT juga akan ikut beralih.

3. Hak tanggungan bersifat individualiteit.

Pasal 15 UUHT menentukan bahwa atas suatu objek HT dapat dibebani dengan lebih dari satu HT untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Masing-masing HT tersebut berdiri sendiri. Eksekusi atau hapusnya HT yang satu tidak berpengaruh terhadap HT lainnya.

4. Hak tanggungan bersifat menyeluruh (totaliteit).

Pada prinsipnya HT diberikan secara keseluruhan. Yaitu HT diberikan dengan segala ikutannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijamin dengan HT. Maka eksekusi HT atas bidang tanah tersebut juga meliputi segala ikutannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijaminkan atau diagunkan dengan HT tersebut.

5. Hak tanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitbaarheid).

Pembebanan HT akan dilakukan terhadap bidang tanah tertentu beserta segala apa yang melakat diatasnya.

6. Hak tanggungan berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya).

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa atas satu bidang tanah dapat dikenakan beberapa HT. Atas hak-hak tanggungan tersebut ditentukan peringkat berdasarkan pendaftarannya. Apabila pendaftaran dilakukan secara bersamaan, maka peringkat HT ditentukan berdasar saat pembuatan APHT.

7. Hak tanggungan harus diumumkan (asas publisitas).

Pendaftaran yang dilakukan merupakan pemenuhan syarat publisitas, sebagaimana disyaratkan dalam hukum kebendaan.

8. Hak tanggungan mengikuti bendanya (droit de suite).

Artinya ketangan siapapun benda yang dimiliki beralih, pemilik dengan hak kebendaan tersebut berhak untuk menuntutnya kembali, dengan atau tanpa disertai dengan ganti rugi.

9. Hak tanggungan bersifat mendahulu (droit de preference)

HT memberikan kedudukan istimewakepada kreditornya. Yaitu sebagai kreditor preferen yang memberikan kedudukan istimewa untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terdahulu daripada kreditor lainnya. Hak tanggungan hanya semataditujukan bagi pelunasan utang dengan cara menjual (sendiri) bidang tanah yang dijaminkan dengan HT tersebut dan memperoleh pelunasan dari penjualan tersebut hingga sejumlah nilai HT atau nilai piutang kreditor.

10. Hak tanggungan sebagai jura in re aliena (yang terbatas)

Hak tanggungan ini hanya bersifat perjanjian assesoir, yang merupakan perjanjian tambahan/ ikutan dari perjanjian pokok utang piutang. Sifatnya terbatas pada hal tersebut sebagai suatu bentuk jaminan.

 

Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan pasal 9 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah. Dalam kedua pasal tersebut yang dapat menjadi subjek hukum adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan keduanya dapat berupa perorangan dan badan hukum.

Pada dasarnya tidak semua dapat dijadikan objek hak tanggungan, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1.    Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;

2.    Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;

3.    Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan

4.    Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

Ada 5 (lima)  jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu:

1.    Hak milik;

2.    Hak Guna Bangunan;

3.    Hak Guna Usaha;

4.    Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas Negara;

5.    Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

Undang-undang Hak Tanggungan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat, ketentuan-ketentuan tentang Hypoteek dan Credietverband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan didalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan perkembangan ekonomi. Akibatnya adalah timbulnya perbedaan pandangan dan pernafsiran mengenai berbagai masalah dan dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya, mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum UUHT).

Gadai atas tanah termasuk tanah pertanian adalah bertentangan dengan hukum tanah nasional. Dalam pasal 10 UUPA dijelaskan :

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”

Dalam pasal 10 UUHT :

“Pemberian hak tanggungan didahaului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan uang tersebut”.

Timbulnya hak tanggungan hanyalah dimungkinkan apabila sebelumnya telah dijanjikan di dalam perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit) yang menjadi dasar pemberian hutang (kredit) yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu bahwa akan diberikan Hak Tanggungan kepada kreditor. Sedangkan pemberian Hak Tanggungan itu sendiri nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian tersendiri oleh PPAT yang disebut dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat 2 UUHT, ketentuan yang sebelumnya tidak ada didalam hypoteek.

Pasal 29

“Dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Implikasi hak atas tanah sebagai objek jaminan gadai yang tidak daftar Akta Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan PERPPU No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian adalah kreditur/pemegang gadai tidak dapat menikmati keistimewaan dari ketentuan yang diberikan UUHT No. 1996 yaitu Droit de Preverence (Hak Pemegang Hak Tanggungan untuk mengambil terlebih dahulu atas pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan dari pada kreditur yang lain), kemudahan dan kepastian dalam eksekusi objek jaminan berdasarkan title eksekutorial di dalam sertipikat Hak Tanggungan dengan irah- irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga eksekusi obyek Hak Tanggungan tidak lagi memerlukan persetujuan pemberi Hak Tanggungan.

Dan kreditur/pemegang gadai tidak mendapatkan kepastian hukum atas prestasi debitur/penggadai. Karena dalam Pasal 7 ayat 1 PERPPU No.56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, hak gadai secara hukum berakhir jika hak gadai itu sudah berlangsung 7 tahun atau lebih. Setelah daluarsa masa gadai tanah, maka tanah harus dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada dipanen.

 

 

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

    Oleh  I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alam...