Minggu, 23 Maret 2025

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

 

 

Oleh

 I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn

Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alami, universal, dan abadi sebagai anugerah dari Tuhan, termasuk hak hidup, berkeluarga, mengembangkan diri, keadilan, kemerdekaan, berkomunikasi, keamanan, dan kesejahteraan. Hak-hak ini tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selain itu, manusia juga memiliki hak dan tanggung jawab yang muncul seiring perkembangan kehidupannya. Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan setiap orang, yang di dalamnya termasuk perlindungan hak asasi manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum harus ditegakkan untuk melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang dan menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Dengan adanya perlindungan hukum, diharapkan hukum dapat memberikan keadilan dan manfaat bagi masyarakat.

Pada dasarnya hubungan sosial tidak terlepas terjadi ada kepentingan-kepentingan individu yang bersifat transaksional yakni aktivitas ekonomi. Beberapa kepentingan individu tersebut dapat berupa pinjam meminjam dan jual beli.

Pada hukum yang berlaku di Indonesia aktivitas ekonomi merupakan hal yang bersifat privat atau keperdataan. Dalam hal aktivitas ekonomi yang bersifat pinjaman dengan menggunakan jaminan Sertipikat atas tanah maka diatur dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Dengan bertambahnya pembangunan nasional, yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, shingga memerlukan  lembaga hak jaminan yang  kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan pasrtisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam perkembangan yang terjadi dimasyarakat, seringkali masih menggunakan istilah gadai dalam menjaminkan sertipikat tanah dalam masyarakat pada umunya. Istilah gadai tercantum dalam pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah:

“ Suatu Hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.

Adapun sebelum tahun 1996 dikenal ada 2 cara dalam menjaminkan sertipikat hak atas tanah yakni dengan Hypotheek(dibaca Hipotik) yang diatur dalam  Buku II KUHPerdata indonesia sepanjang mengenai tanah dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah  dengan Staatsblad1937-190.

Dengan adanya Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka menurut Pasal 29 ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hypotheek dan Credietverband, berasal dari zaman kolonial belanda dan didasarkan pada berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya untuk sementara waktu sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksudkan dalam pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan Hypotheek dan Credietverband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak  jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbul perbedaan pandangan dan penafsiran  mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaannya eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum  dalam  kegiatan perkreditan.

Aktivitas ekonomi juga yang sering terjadi adalah jual-beli, yang mana dalam KUHPerdata diataur dalam pasal 1457 :

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.

Unsur–unsur yang dalam jual beli meliputi:

1.   1.  Adanya persetujuan

2.   2. Adanya subjek hukum

3.   3.  Objek hukum

4.   4. Adanya levering (Penyerahan)

Persetujuan dikonsepkan sebagai kesepakatan dari para pihak. Subjek hukum dalam jual beli yaitu penjual dan pembeli. Penjualnya yaitu orang atau subjek hukum yang menyerahkan benda dan benda dan menerima uang dari pembeli, sedangkan pembeli, yaitu orang atau subjek hukum yang berkewajiban untuk menyerahkan uang dan menerima barang. Objek jual beli yaitu barang dan harga. Walaupun terjadi kesepakatan, namun objek dalam jual beli harus dilakukan dengan penyerahan secara nyata, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan dengan penyerahan dengan Akta PPAT.

Banyak ditemukan dalam aktivitas masyarakat yang melakukan kegiatan pinjam-meminjam uang disertai dengan menyerahkan sertipikat hak atas tanah tanpa dilakukannya perikatan hak tanggungan atau secara cuma-cuma. Hal mana pada pemikiran masyarakat awam dapat dilakukan proses balik nama bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan pasal 12 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yakni :


Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”.

Sebagai mana amanat pasal 1  dari UUHT adalah:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain;

Hal ini menengaskan bahwa dalam terjadinya hutang-piutang dengan jaminan hak atas tanah maka ranah yang dianjurkan adalah dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan pada kantor PPAT. Hal ini dipertegas dalam pasal 29 berbunyi :

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Maka sudah sangat jelas apabila dalam suatu hutang-piutang dengan benda tidak bergerak dalam hal ini dengan jaminan sertipikat tanah, hal yang dilakukan adalah dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan bukan membuat Akta Jual Beli atau Perjanjian Perikatan jual beli dan Kuasa, hal ini sangat merugikan Kreditur karena kesalahpahamannya karena berdampak batal demi hukum sebagai mana pasal 12 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Penjualan dalam hak tanggungan dapat dilakukan oleh kreditur bila debitur cidera janji, maka pelaksanaannya dapat dibagi menjadi 2 dua menurut pasal 20 ayat 1 UUHT:

1.    Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

2.     Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Penjualan dapat dilakukan secara sukarela (Non eksekutorial) bilamamana Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.

Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi.

 

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

    Oleh  I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alam...