KEDUDUKAN
WANITA BALI
DALAM
SISTEM PEWARISAN ADAT BALI
Oleh
:
I WAYAN TRI WIRA WIHARJA, SH., M.Kn
Hukum
adat adalah hukum kebiasaan yang lahir dan berkembang dari tingkah laku
masyarakat, dalam hidupnya sehari-hari, memiliki sifat yang tegas dan berwujud
hukum yang positif. Sehingga dalam kehidupannya masyarakat harus melaksanakan
aturan-aturan tingkah laku tersebut.
Hukum
Adat pada dasarnya berkedudukan memperkaya khasanah hukum nasional Indonesia.
Hukum Adat menjadi tumpuan masyarakat adat bertalian dengan keputusan-keputusan
adat yang dijumpai penetapannya dalam kontak sosial manusia di lingkungan
masyarakat adat di seluruh wilayah nusantara. Fungsi keputusan adat yang
dimaksudkan di sini adalah memberikan pembatasan oleh ketentuan-ketentuan yang
mengatur tingkah laku dan sikap mereka, karena jika tidak demikian akan terjadi
ketidak seimbangan dalam masyarakat. Hukum Adat bagi warga masyarakat adat
mempunyai beberapa indikator penting dalam menunjukkan peranannya sebagai a
tool of a social engineering (rekayasa sosial yang bertujuan untuk
mengarahkan menuju keteraturan dan ketertiban yang orientasinya ingin menyasar
aspek keadilan bagi masyarakat). Pertama, Hukum Adat yang realisasinya dapat
berupa keputusan adat dari hasil pesamuhan majelis adat secara substantif
memuat ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia atau yang menjadi pedoman
manusia untuk berperilaku guna menjaga keseimbangan kepentingan mereka dalam
masyarakat. Kedua, memberikan peluang besar untuk perwujudan aspek keadilan
bagi masyarakat dalam kerangka menerapkan prinsip persamaan di muka hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali bagi
masyarakat Indonesia secara keseluruhan (equality before the law), baik
kaum laki-laki maupun perempuan. Ketiga, Hukum Adat dalam wujud Keputusan
Majelis Adat dinilai memberikan kontribusi yang besar dalam penetapan kebijakan
yang memenuhi unsur pelayanan publik bagi anggota masyarakat sampai ke tingkat
lapisan masyarakat paling bawah.
Ketentuan
pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia
menghormati keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta segenap aspek
sosial budaya yang melingkupi di setiap pengambilan keputusannya. Jadi,
berdasarkan isi ketentuan konstitusi tersebut di atas, tampak jelas bahwa
ketentuan hukum adat mengikat masyarakat adat dan akan menimbulkan akibat hukum
tertentu apabila dilanggar. Namun, dalam substansi ketentuan adat tidak jarang
menimbulkan reaksi kontradiksi bagi warga masyarakat adat untuk mengkaji
kembali setiap kebijakan yang ditetapkan atas nama adat. Bahkan tidak jarang
masyarakat menilai bahwa antara ketentuan yang ditetapkan dengan pelaksanaannya
di lapangan sering kali dalam penerapannya mengalami tumpang tindih. Salah satu
permasalahan yang muncul misalnya perihal pengaturan hak anak perempuan yang
berhak mewaris menimbulkan perdebatan panjang di kalangan pemangku kebijakan
dengan masyarakat yang disasar kebijakan tersebut.
Hukum
adat waris adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak
berwujud dari satu generasi manusia kepada keturunannya. Sistem kekeluargaan
yang dikenal pada masyarakat Bali adalah sistem Patrilineal, yang melalui garis
keturunan laki-laki (Purusa) dan merupakan generasi penerus orang
tuanya, sedangkan anak perempuan bukuan generasi penerus orang tuanya. Hal
tersebut dengan jelas dan tegas dirumuskan dalam salah satu pasal (pawos)
dalam awig-awig desa pakraman. Kedudukan anak perempuan Bali dalam hal
mewaris hanya mempunyai hak menikmati harta guna kaya orang tuanya
selama ia belum kawin, apabila ia kawin, maka hak menikmati menjadi gugur. Pada
tanggal 15 Oktober 2010 Majelis Utama Desa pakraman (MUDP) Bali mengadakan Pasamuan
Agung III, yang intinya melakukan terobosan terhadap hukum adat waris bali.
Pada Pasamuan Agung III MUDP Bali tersebut telah diputuskan bahwa anak
perempuan berkedudukan sebagai ahli waris terbatas. Kontradiksi antara law
in book dan law in action dapat terjadi tidak terlepas dari sistem sosial
budaya yang melingkupi sistem pewarisan masyarakat Bali. Masyarakat Bali
memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang
menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan menurut garis
keturunan pria. Maka kedudukan pria lebih diutamakan dari wanita. Pria adalah
penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal, sedangkan wanita
disiapkan untuk menjadi anak orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain.
Oleh karena itu apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
mempunyai keturunan dikatakan “putus keturunan”. Sistem kekerabatan ini di Bali
dikenal sebagai sistem keturunan laki-laki purusha.
Kondisi
sosial budaya matri lokal yang masih dinilai mengalami diskriminasi dapat
dilihat dari gambaran perihal waris yang ditentukan dengan mendasarkan pada
garis keturunan laki-laki. Bagi keluarga yang hanya memiliki anak perempuan dan
sama sekali tidak diberikan keturunan anak laki-laki, maka dianggap ini sebuah
malapetaka, nasib tidak mujur dan berbagai makna yang mengkhawatirkan, Anak
perempuan, tidak sebagai penerus keturunan dalam Hukum Hindu pada Masyarakat
Adat di Bali yang menganut sistem patrilinial. Apabila terjadi perkawinan di
luar lingkungan keluarga purusha (sistem keturunan laki-laki), maka ia tidak
mendapatkan hak terhadap harta kekayaan orang tuanya. Anak laki-laki yang
mewarisi semua harta warisan, keturunan, membayar hutang orang tua, dan
melakukan upacara kematian ngaben jika orang tua meninggal, sebab anak
laki-laki sebagai garis purusha (sistem keturunan laki-laki) yang dipersiapkan
untuk melanjutkan keturunan. Tidak demikian dengan nasib dan kedudukan anak
perempuan, apabila anak perempuan menikah dengan orang yang bukan dalam garis
purusha (sistem keturunan laki-laki) maka ia dianggap sudah keluar dari
lingkungannya (clan, soroh atau marga), maka anak perempuan tidak memiliki
kewajiban terhadap orang tua dan clannya. Hal tersebut menyebabkan wanita tidak
diberikan hak untuk mewaris. Hanya jika saudara prianya mengikhlaskan untuk
memberikan suatu pemberian sama rata atau memilih untuk tidak menikah sepanjang
hidup atau wanita dapat berposisi purusha (sistem keturunan laki-laki) apabila
perkawinan dilakukan dengan sistem nyentana.
Sistem
perkawinan nyentana adalah sistem perkawinan dimana pihak perempuan tidak
keluar dari clan atau kerabat ayah kandungnya namun membawa pihak
laki-laki masuk ke dalam kerabat ayah kandung wanita sehingga pria berubah
kedudukannya menjadi wanita dan wanita berubah kedudukannya menjadi pria.
Sering terjadi saat seorang anak perempuan menikah dan keluar dari lingkungan clan
atau kerabat dari orang tuanya, orang tua memberikan harta sebagai bawaan
dalam pernikahan yang disebut harta tetatadan (harta bawaan)
seperti harta bergerak contohnya perhiasan, motor dan mobil. Hal ini memberikan
gambaran relasi timpang dalam aspek gender antara perempuan dan
laki-laki pada sistem pewarisan adat di Bali sangat jelas terungkap bahwa
kedudukan perempuan Bali sangat subordinatif terhadap laki-laki Bali, dan
gerakan dari laki-laki untuk mengukuhkan proses itu sangat kuat. Hal tersebut
menimbulkan keluhan-keluhan dari kaum perempuan di Bali terhadap ketidakadilan
keadaan tersebut, sementara itu dalam berbagai instrumen Peraturan Perundangan
Nasional telah terumus berbagai instrumen hukum yang menjamin persamaan hak
antara wanita dan pria. Melihat pengaturan yang normatif seolah-olah terdapat
jurang antara apa yang terumus dalam Hukum Adat di satu sisi dan Hukum Nasional
di sisi yang lain. Pada kenyataan sehari-hari selalu saja dapat dijumpai
perempuan-perempuan yang mengalami diskriminasi dalam hal waris, dan tidak
mempunyai akses kepada Peradilan Negara.
Perkembangan terakhir mulai 2010 sampai dengan sekarang, Masyarakat Adat Bali telah mengalami perkembangan khususnya terhadap persamaan hak dalam pewarisan bagi perempuan Bali yang telah diatur dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang hasil-hasil Pasamuan Agung III MUDP Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung maupun anak angkat).
Adapun bunyi Keputusan
Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman terkait pewarisan bagi
perempuan ialah:
“Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan
Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15
Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa
setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika
kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris.
Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal
sukarela”.
Perempuan
Bali sangat setuju jika diberikan hak mewaris, sekalipun jumlahnya tidak sama
dengan laki-laki. Mengenai besaran jumlah warisan sesuai dengan Putusan Samuan
Agung III menurut perempuan adalah sangat ideal. Pemotongan 1/3 untuk harta
pusaka dipandang sebagai kebijakan yang layak mengingat pemanfaatannya untuk
kepentingan Merajan seperti benda-benda sakral. Hal itu, menunjukkan
sifat regiusmagis tetap menjadi landasan filosofi perempuan Bali dalam
menunjukkan sikapnya mengenai pewarisan
Salah satu implementasi keputusan MUDP ini terlihat di Kota Denpasar, di mana di Denpasar Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/ KeP/ Psm-3/ MDPBali/ X/ 2010 ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Bali di Desa Pakraman mereka. Hasil keputusan MDP (Majelis Desa Pakraman) Bali ini merupakan pilihan hukum di dalam proses pembagian waris bagi anak perempuan. Pelaksanaan pewarisan sampai saat ini berlaku hukum adat sebagaimana diatur dalam Residen Bali-Lombok sejak tahun 1915 yaitu pewarisan adat patriarkhi atau sering disebut dengan pewarisan Lempeng ke Purusa (mengikuti garis laki-laki), yang mana anak laki-laki lah yang berhak atas warisan keluarga. Dalam hal penyelesaian kasus-kasus pewarisan pada keluarga krama desa adat, prajuru desa adat diminta ikut menyelesaikan baik di tingkat keluarga maupun dadia, sifat penyelesaiannya adalah dengan pendekatan konsiliasi/mediasi dalam mengupayakan penyelesaian damai.
Keikutsertaan
prajuru desa adat menyelesaikan kasus-kasus pewarisan, ketika di tingkat
keluarga maupun dadia tidak bisa diselesaikan. Prajuru desa adat pada dasarnya
sangat mengutamakan penyelesaian kasus pewarisan melalui pendekatan
kekeluargaan, musyawarah mufakat dan religiusmagis dalam bentuk rasa malu pada
leluhur jika apa yang diwariskan justru membuat damuh atau keturunannya
terjadi disharmoni atau tidak jalannya nilai-nilai upeksa yaitu
keseimbangan dalam hidup dan kehidupan.
Pembagian waris adat
menggunakan sistem garis keturunan dan sistem kewarisan yang dimana setiap
wilayah itu berbeda-beda. Susunan garis keturunan pria (patrilineal), garis
keturunan perempuan (matrilineal), dan susunan menurut garis pria/perempuan
(parental/bilateral). Dan sistem kewarisan yang dianut dalam hukum adat di
Indonesia yaitu kolektif, mayorat dan individual.
Dalam susunan kekerabatan
yang cenderung mempertahankan garis keturanan pria (patrilineal) sebagaimana
berlaku di Bali pada umumnya yang berkedudukan sebagai ahli waris adalah kaum
pria, yaitu ayah atau pihak saudara pria dari ayah. Sedangkan kaum perempuan
bukan ahli waris. Hukum adat Bali mengenal beberapa aturan tentang pewarisan
sejak tahun 1900 sampai sekarang. Paswara 13 Oktober 1900, awig-awig tertulis
Desa Pakraman, dan Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010.
Awig-awig adalah aturan yang dibuat olehkarma
desa pakraman dan atau karma banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan Dharma agama di
desa pakraman atau banjar pakraman masing-asing. ( Perda Nomor 3 Tahun 2001
Tentang Desa Pakraman)
Terkait dengan implementasi keputusan-keputusan adat, baik MUDP, MMDP, Majelis Alit dan tingkat kertha desa, prajuru desa adat adalah ujung tombak yang signifikan guna menentukan keberhasilannya. Mekanisme pengembilan kebijakan di desa adat, senantiasa mengutamakan uger-uger desa, baik dalam bentuk awig-awig, aturan tidak tertulis lain yang diyakini oleh masyarakat adat, juga yang sangat penting adalah perarem desa adat sebagai pemutus tertinggi kebijakan, terutama yang tidak diatur dalam uger-ugeran.
Pengambilan
putusan dalam kaitan dengan perempuan berhak mewaris, desa adat sangat
apresiatif terhadap kebijakan keluarga/krama desa adat dan masing-masing dadia,
kecuali mereka minta bantuan desa adat untuk ikut menyelesaikan. Tentu dalam menentukan
warisan sangat diperhatikan posisi warisan, apakah warisan harta pusaka, guna
karya, paweweh atau tatadan, masing-masing punya proses pewarisan yang
berbeda.
Pada umumnya sistem pewarisan pada masyarakat masih berpegang pada dresta, hukum adat dan juga awig-awig, namun di desa-desa yang sudah agak modern seperti masyarakat Buleleng, ada yang memberikan waris pada anak perempuannya melalui proses hibah.
Bahwa
dalam implementasi pewarisan pada masyarakat masih berpegang pada awig-awig
yang menjadi pedoman di desa pakraman. Oleh karena desa pakraman hanya ada di
bali maka keberadaan MUDP ini hanya berlaku pada masyarakat adat bali yang
berada di pulau bali. Hal tersebut dikarenakan untuk memberlakukan desa
pakraman haruslah dilandasi dengan peraturan daerah, seperti halnya di
bali Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Hal ini pula
berlaku bagi masyarakat asli bali yang berada diperantauan. Bagi masyarakat
yang beragama hindu yang berada diluar pulau bali yang sudah menetap tetap berpedoman pada Hukum
Hindu, yakni Bab. IX. Kitab Manawa Dharmasastra.
Isãnãsah pitrvittasya rãyah (Rgveda: I. 73.9).
Artinya:
Anak laki-laki mewarisi milik (harta) leluhurnya.
Prajãbhyah pustim wibhajanta
ãastate (Rgveda: II.13.4).
Artinya:
Para orang tua memberikan bagian mereka kepada anak laki-laki.
Disamping
anak laki-laki anak perempuanpun berhak mendapatkan waris.
Amãjur iva pitroh sacã sati
samãnãd ã sadasas tvãam iye bhagam kridhi praketam upa mãsyã bhara daddhi
bhãgam tanvo yanemãmahah (Rgveda: II.17.7).
Artinya: Seorang anak perempuan
selalu tinggal dengan orang tuanya, seperti seorang wanita yang tinggal menjadi
tua di rumah, meminta uang kepada orang tuanya. Semoga orang tuanya memikirkan
maslah itu. Perhitungkan dan berikan bagiannya kepadanya untuk perawatan dan
untuk melayani para tamu.
Hal ini dimaksudkan wanita
hindu yang belum menikah, tetap menjadi tangguggan orang tuanya atau saudara laki-lakinya dan berhak atas warisan.
