Sabtu, 22 Juni 2019

PEMBERIAN KUASA DALAM KUHPERDATA


PEMBERIAN KUASA
DALAM KUHPERDATA



Pasal 1792 KUHPerdata, memberikan batasan, sebagai berikut:

"Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan."

Dari definisi ini dapat diketahui  bahwa perjanjian pemberi kuasa adalah merupakan perjanjian sepihak. menurut pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu lain atau lebih. kemudian dalam 1338 ayat 1 KUHPerdata, memberikan kebebasan kepada para pihak untuk antara lain menentukan isi perjanjian dan memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.

Dalam pemberian kuasa selalu digunakan kalimat " Untuk dan atas nama", yang berarti  bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa  dalam batas batas kuasa yang diberikan sebagaimana tercantum dalam 1807 KUHPerdata. Namun demikian, tidak semua hal dapat dikuasakan kepada orang lain (Pihak Ke III, ada perbuatan yang tidak dapat diwakilkan sebagai contoh dalam perbuatan testamen Pasal 932 KUHPerdata, melangsungkan perkawinan, kecuali ada alasan penting sebagaimana diatur dalam Pasal 79 KHUPedata, mengakui dan m,engangkat anak (adopsi).

Jenis surat kuasa sebagaimana dalam 1795 KUHperdata dikenal ada 2 (dua) jenis surat, yaitu:

1. Surat Kuasa Umum
    Suatu pemberian kuasa yang diberika secara umum adalah meliputi perbuatau-perbuatan pengurusan yang mencakup segala  kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (pasal 1796 KUHPerdata). Misalnya melakukan tindakan pengurusan, penghunian atau pemeliharaan seperti melakukan pemecahan bidang tanah, membuat izin  mendirikan bangunan, dan menerima kwitansi atau uang atas pembayaran.

2. Surat Kuasa Khusus
        Surat kuasa ini hanya mengenai suatu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan  dengan tegas perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk mengalihkan hak atas barang begerak,  membebankan hak tanggungan.

Dalam praktik sehari-hari, dikenal  satu jenis surat kuasa lain, melalui akta-akta notaris  atau dibawah tangan. surat kuasa ini memuat klausul "tidak dapat dicabut kembali" atau lebih dikenal dengan surat kuasa mutlak. surat kuasa ini dilarang penggunaannya berdasarkan  Instruksi Mendagri tanggal 6 Maret 1982 Nomor 14/1982, yang kemudian telah  diperkuat oleh jurisprudensi mahkamah agung tanggal 14 April 1988, Nomor 2584 K/Pdt/1986. Surat kuasa mutlak mengenai jual beli tanah tidak dapat dibenarkan, karena dalam praktek sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual-beli tanah tidak dapat dibenarkan, karena dalam praktek sering disalahgunakan  untuk menyelundupkan jual beli tanah. 


Dalam pasal 1739 KUHPerdata, menentukan bahwa suatu surat kuasa, dapat dibuat dengan :
  1. Akta auntentik;
  2. Akta di bawah tangan
  3. Surat Biasa ;
  4. Secara Lisan;
  5. Secara Diam-diam;
Dalam hal tertentu, pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa, terikat pada syarat formil, seperti:
Surat Kuasa yang harus dibuat secara autentik.
  • Kuasa menjual (bidang tanah)
  • Kuasa Hibah
  • Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
  • Kuasa Mengambil tabungan, sertipikat yang menjadi agunan pada bank.
KUASA SUBSTITUSI

Surat kuasa dapat dilimpahkan (Substitusi) oleh penerima kuasa kepada orang lain (Pihak ketiga). Pada umumnya surat kuasa selalu diberikan dengan klausul, "Surat kuasa ini diberi hak substitusi", Jika si penerima kuasa tidak diberi wewenang untuk itu , tapi kemudian ia melimpahkannya kepada orang lain, maka pelimpahan itu tidak sah. kecuali untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau diluar pulau tempat tinggal pemberi kuasa sebagaimana tercantum dalam 1803 ayat 2 KUHPerdata.

HAK RETENSI

Hak Retensi adalah hak untuk menahan suatu benda sampa dengan suatu piutang yang bertalian dengan dengan benda itu dilunasi pembayarannya. KUHPerdata mengatur tentang hak retensi secara tersebar.

Kaitannya dengan perjanjian pemberian, kuasa hak retensi diatur dalam Pasal 1812 KUHPerdata menyebutkan :
    "Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa". 

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK.
  1. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa : Hak hak pemberi kuasa diatur dalam 1799, 1800, 1801,1802,1803 dan pasal 1805 KUHPerdata. Kewajiban pemberi kuasa ditaur dalam Pasal 1807,1808. 1809, 1810, 1811 dan pasal 1812 KUHPerdata.
  2. Hak danKewajiban Penerima Kuasa diatur dalam 1807, 1808, 1810, 1811 dan pasal 1812 KUHPerdata. Kewajiban Penerima Kuasa diatur dalam 1800, 1801,1802,1803, 1804, 1806 KUHPerdata.
BERAKHIRNYA KUASA

Berakhirnya kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata, sebagai berikut :
  1. Atas kehendak pemberi kuasa;
  2. Atas permintaan penerima kuasa;
  3. Persoalan yang dikuasakan telah dapat tercapai atau diselesaikan;
  4. Salah satu pihak meninggal dunai;
  5. Salah satu pihak  berada dibawah pengampuan (Curatele);
  6. Salah satu pihak dalam keadaan pailit;
  7. Karena perkawinan perempuan yang memberi atau yang menerima kuasa.
Selanjutnya menurut pasal 1814 KUHperdata, si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang hak untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.

Bilamana si pemegang kuasa tidak mau menyerahkan kembali kuasa secara sukarela, ia dapat dipaksa berbuat demikian melalui  pengadilan. Pencabutan kuasa atas kehendak pemberi kuasa, tidak mengikat pihak ke tiga, selama hal itu belum diberitahukan kepadanya (Pasal 1815 KUHPerdata).

Hibah menurut KUHperdata

Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pengertian Hibah 

Yang dimaksud dengan hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah : Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata“Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.” Bahwa, yang dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian Cuma-Cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya. Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah. Dasar Hibah Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah : Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal ”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada, bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah. Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “ Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”. Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan. Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan batal, yang terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil. Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua kitab undang-undang ini”. Bab kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Nikmat Hasil. Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku. Cara menghibahkan sesuatu Tentang cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini : Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “ Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu ”. Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “ Tiada suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya “. 

Referensi: 
R. Subekti, 1995. Aneka Perjanjian Cet Ke-10 Bandung: Citra Aditya Bakti.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, 1992. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet ke-25, Jakarta: Pradnya Paramita. 
Sudarsono, 1992. Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Hutang-Piutang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Akan Menjadi Batal Demi Hukum, Bilamana Tidak Diikuti Dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

    Oleh  I Wayan Tri Wira Wiharja, S.H., M.Kn Dalam hubungan sosial dimasyarakat, Manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat secara alam...